Jumat, 06 Juli 2012

SOEHARTO DAN KOLEKSI PHOTO

KOLEKSI PHOTO SOEHARTO

MARI BELAJAR SEJARAH DARI GAMBAR.


Seorang jenderal dalam usia 46 mulai menggenggam kekuasaan yang besar. Sejarah sudah membahasnya, dan bahasan itu belum usai. Anda boleh kagum sepenuh takzim, boleh pula benci kepadanya — atau seperti banyak orang bingung untuk merumuskannya dalam satu kata. Meski saya sangat tidak suka kepadanya — ketika dia hidup, saya selalu menyebutnya dalam blog sebagai “orang itu” — saya mengakui bahwa dalam dirinya pasti ada hal-hal baik bahkan mulia. Dia manusia, bukan iblis, bukan malaikat.
Saya teringat dia karena barusan menemukan foto-foto lama yang dulu, sudah lama banget, pernah saya lihat di majalah Life. Foto-foto yang sebagian adalah hasil pengarahan dan mengundang tafsir subyektif itu. Di kemudian hari, pada puncak kekuasaannya, siapa yang bisa membuat dia nyaman dan rileks untuk diatur-atur, dan difoto dari dekat?

Dari jepratan Larry Burrows, pewarta foto perang itu, saya melihat foto-foto penuh percaya diri seorang jenderal yang nyaman menggenggam cek kosong sejak awal kekuasaannya, hampir boleh ngapain aja, karena banyak orang percaya dan berharap kepadanya.
Foto-foto itu menggambarkan kepercayaan diri yang tinggi tanpa menjadi congkak berlebihan, karena dari seorang Jawa introvert, yang bercitra humble, selalu ada cara lunak untuk menunjukkan kelebihan diri. Mampu mengemas keangkuhan dalam kehalusan.

Saya melihat foto-foto seorang suami dan ayah yang hangat. Barangkali, karena kultur kita, maka dia pun menganggap rakyat sebagai anak — demikian pula rakyat terhadapnya: bapak. Selebihnya adalah father knows best dan dia menjadi patriarch, menjadi sentrum dari segala tafsir tentang kebenaran.

Dia akhirnya menjadi romo (rama, ayahanda, dalam konteks ini bukan pastor) yang bahasa tubuhnya, termasuk anggukan kecil, adalah sabda nonverbal yang siap ditafsir dan dilaksanakan. Ini seperti cerita seorang bekas menteri: jika dia meraih gelas minuman saat mendengarkan usulan maka itu berarti penolakan.
Tentang buku, catatan, dan kliping, sudah banyak yang mengumpulkan dan mengkajinya. Tetapi bagaimana dengan foto? Mestinya Sekretariat Negara, Antara, Pusat Informasi Kompas, dan Pusat Dokumentasi dan Analisa Tempo punya ribuan foto yang siap ditafsir. Saya tak tahu apakah TVRI menyimpan dokumentasinya dengan baik.
Video TVRI dan foto koran menampilkan hal yang tampaknya sederhana dari pidato ke pidato: kacamata dan arloji sang jenderal yang sering berganti. Maka orang awam membatin, “Gimana ya caranya beli? Kan nggak mungkin jalan-jalan ke toko?”
Kumpulan video TVRI pasti menampilkan seremoni yang layak tafsir. Tentang seorang raja yang dari periode ke periode berdiri semangkin dingin, menyambut antrean daripada tetamu yang akan berjabat tangan. Jarak yang tak bergaris antara dia dan tetamu menghadirkan pemandangan sama: tetamu harus membungkuk. Mirip saya menyalami orang-orang (tua).
Demikian pula foto-foto hadirin dalam banyak acara kepresidenen, yang karena tuntutan protokoler harus ngapurancang (mempertemukan tangan di depan atau bawah perut). Sopan sekaligus aman. Mempermudah pekerjaan paswalpres dalam mengawasi.
Itulah sebabnya foto Direktur Pelaksana IMF Michael Camdesus bersedekap ketika menyaksikan presiden menandatangani kesepakatan pada 15 Januari 1998. Adegan itu, seperti sebuah kapitulasi atau penyerahan diri seorang pemimpin — bahasa kasarnya: pengakuan keok.

Ada yang tersinggung, ada yang bersorak, terhadap foto itu. Alasan Camdessus di kemudian hari sangat menarik. Dia mengikuti ajaran ibunya, yaitu kalau sedang kikuk karena tidak tahu harus berbuat apa ya lipatlah tangan.
Foto-foto selalu menarik. Mirip kita mengamati foto kawan di Facebook. Maka ketika koran-koran mulai dicetak berwarna, rakyat pun sadar akan satu hal: pesawat telepon di meja kerjanya, di Bina Graha, ternyata berlapis emas.
Foto lain yang tak ada urusannya dengan warna adalah sepasang gading gajah di salah satu ruang rumahnya, Jalan Cendana. Ada rak hiasan di sana. Orang yang belum pernah ke sana akan menebak, tak adakah jendela di ruang itu?
Foto resmi kepresidenen edisi 1993, di Wikipedia Indonesia, menampilkan sosok yang berjarak, tak tersentuh. Rambut yang tak tertutup peci tampak memutih. Dalam usia 72 dia masih tampak gagah. Bandingkan empat tahun kemudian, akhir 1997, ketika krisis moneter mulai menghimpit Indonesia. Dia tampak menua sekali dan lelah. Makin banyak yang bersifat kritis terhadapnya, dan mulai terasa pembiaran oleh pihak tertentu terhadap arus yang menentang dan menantangnya.
Foto resmi kepresidenan adalah sebuah kewajaran di negeri mana pun. Menjadi aneh ketika makin banyak orang tak menyukainya, sehingga seorang seorang guru yang mengajar di alma maternya pun menyesal ketika harus bertemu wajah kepala negara yang sama tetapi berbeda edisi. Foto orang yang dia lihat saat dulu bersekolah.
Dan lihatlah, alangkah banyaknya foto mempelai di gedung resepsi yang gebyok atau backdrop pelaminannya tidak bisa menutupi foto presiden dan wakilnya. Seolah kemarin dan hari ini adalah sama saja. Padahal dari waktu ke waktu potret sang presiden berubah. Kesukaan maupun ketidaksukaan kita menghasilkan kesamaan: kebosanan untuk mengamati lebih jauh.
Itulah foto kepresiden yang secara berlebihan dianggap sebagai faktor penambah penduduk Indonesia. Jumlah mutakhir penduduk adalah data terakhir dari pemerintah plus foto presiden (karena saking banyaknya dan terus bertambah). Ngawur tapi menghibur.
Dia adalah tokoh. Penting pula.  Tak mungkin terlupakan. Video awal 80-an sampai pertengahan 90-an menampakkan seorang penguasa yang tak terbantahkan. Ingat bagaimana dia menyatakan akan menggebuk kaum dissident? Tidak meledak, ada senyum dan menahan tawa, tetapi dingin. Semburat kebengisan tergambar di sana.
Dia memang bukan Castro atau Ghaddafi yang kuat mengoceh, tetapi dalam gaya kebapakan dia tetap tak terbantahkan, terutama dalam pidato tanpa teks dan tanya-jawab. Dehemnya sebelum berkata-kata pun punya kekuatan. Inilah era monolog Butet Kertaradjasa dalam menirukan vokal maupun gesturnya menjadi katup pelepas orang-orang tertindas.

Ingatan kita tentang seseorang seringkali berupa gambar di benak. Visual sifatnya. Ingatan apa yang ada di benak Anda tentang dia? Foto resmi itu? Prangko? Atau foto yang lain?
Mari kita tunggu sebuah hasil riset foto terhadap potret Soeharto — ya, dialah yang saya maksud sejak tadi — lengkap dengan tafsiran subyektifnya. Termasuk foto-foto yang humane tentang dia. Tentu kita juga harus kritis bahwa foto tunggal, satu versi pula, hanyalah hasil pembekuan sebuah peristiwa. Tanpa memahami konteks kita bisa tergelincir dalam menafsir.
Entahlah siapa yang akan melakukan riset foto. Harapan saya sih Anda. :)
© Foto-foto lama: Larry Burrows/Life, Desember 1967 | © Foto Soeharto main gitar: entah | © Foto Camdessus dan Soeharto : entah
 
 
The Smiling General oleh O.G. Roeder


Tanda tangan Pak Harto

Cetakan Pertama th.1969
Printed by Toppan, Tokyo-Jepang

Soeharto ketika di promosi menjadi Jenderal bintang empat,
mendapat ucapan selamat dari Presiden Soekarno.

Letnan Kolonel Soeharto, Komandan Brigade Garuda Mataram,
Jogjakarta, Juni 1949

Staff Meeting antara Jenderal Soedirman dan Let.Kol. Soeharto

Soeharto, Presiden Republik Indonesia - th.1969

Soeharto The Smiling General
Terbit: th. 1969, ketika Soeharto baru 3 tahun menjabat Presiden Indonesia.
Tebal: 280 halaman
            dengan banyak Foto2 didalam.
Kondisi: bagus, halaman lengkap, jilid utuh.
tapi Cover jaket luarnya saja yang dengan kondisi agak lusuh.
Dalam bahasa Inggris / English.

Untuk melihat gambar yang lebih besar / lebih jelas,
click pada gambar yang akan dilihat.

Keterangan lebih lanjut mengenai pembelian, pengiriman barang,
cara pembayaran dll. silahkan Hub. e-mail: neneng1971@yahoo.com
atau Hub. HP. 021.9471.2076
Pengiriman ke luar kota, tambahkan sedikit ongkos kirim
untuk biaya TIKI atau Posindo.
Sudah Terjual / SOLD  

enderal HM. Soeharto





INILAH.COM, Jakarta Ini sebuah penggalan kisah hidup Jenderal Besar HM Soeharto. Bicara prestasi kenegaraan, Pak Harto di urutan kedua setelah Panglima Besar Soedirman di antara 61 penerima anugerah Bintang Sakti Maha Wira Ibu Pertiwi.

Tak banyak perwira tinggi yang mendapat anugerah kehormatan itu. Tanda kehormatan itu hanya diberikan kepada perwira TNI yang dinilai andal dan ahli strategi.

Perwira tinggi TNI lain yang juga mendapat penghargaan itu adalah Jenderal Besar TNI Abdul Haris Nasution (alm), Laksamana Muda (Anumerta) Josaphat Sudarso, Laksamana TNI (Laut) R Subiyakto, dan Laksamana TNI (Udara) Suryadi Suryadarma.

Karier militer pria kelahiran Desa Kemusuk, Godean, Bantul, 6 Juni 1921, ini bermula sebagai prajurit Koninklijk Nederlans Indische Leger/Tentara Hindia Belanda (KNIL).

Dengan fisik yang sehat, tegap, dan kecerdasan otaknya, Soeharto muda sejak 1 Juni 1940 diterima sebagai siswa militer di Gombong, Jawa Tengah. Enam bulan setelah menjalani latihan dasar, ia selesaikan sekolah militer sebagai lulusan terbaik dan mendapat pangkat Kopral di usia 19 tahun.
Pos penempatan pertama Kopral Soeharto adalah Batalyon XIII, Rampal, Malang. Kemudian Soeharto masuk sekolah lanjutan Bintara di Gombong. Berkat sikap keprajuritan dan disiplinnya yang tinggi, dalam waktu relatif singkat ia mendapat kenaikan pangkat.
Saat pasukan Inggris mendarat di Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Bandung, pada 29 September 1949, Letkol Soeharto memimpin Batalyon X. Bersama pasukan-pasukan lain, pasukan pimpinannya bertempur melawan tentara Sekutu di Ambarawa.
Untuk merebut kembali obyek-obyek vital di dalam kota, pasukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) didatangkan dari Banyumas, Salatiga, Surakarta, dan Yogyakarta. Pasukan Inggris di Magelang dan Ambarawa pun terkepung.
Empat kompi pasukan Letkol Soeharto berhasil menduduki Banyubiru dan memukul mundur pasukan Sekutu dari Ambarawa. Sejak peristiwa itu, nama Letkol Soeharto mulai dikenal sebagai perwira yang cakap di lapangan dan mendapat perhatian dari Panglima Besar Soedirman.
Saat Belanda kembali melancarkan agresi militer kedua, Februari 1949, Yogyakarta sudah dalam kekuasaan Letkol Soeharto. Pasukannya mengadakan konsolidasi di luar Yogyakarta.
Sepuluh hari setelah peristiwa itu, Letkol Soeharto dan pasukannya menyiapkan serangan balasan ke pos-pos pasukan Belanda di luar Yogya. Soeharto menyusun siasat secara saksama sebelum melakukan serangan umum ke Kota Yogya.
Menjelang fajar 1 Maret 1949, pasukan Letkol Soeharto mulai bergerilya masuk Kota Yogyakarta. Serangan berjalan lancar dan gencar sehingga Kota Yogya dapat diduduki dalam waktu enam jam.
Kota Yogya direbut kembali dan pasukan TNI merebut berton-ton amunisi dari pasukan Belanda. Tapi, ketika pasukan Belanda kembali dengan mesin perang dan amunisi lengkap, Letkol Soeharto segera memerintahkan pasukannya mundur kembali ke pangkalan masing-masing di luar Kota Yogya.
Serangan yang kemudian dikenal sebagai Serangan Umum 1 Maret 1949 sebetulnya bersifat politis, yakni untuk mendukung perjuangan dan diplomasi RI di PBB.
Secara psikis, serangan itu dilakukan untuk mengobarkan semangat juang rakyat agar mendukung, memulihkan, memupuk, dan meningkatkan kepercayaan terhadap TNI yang masih setia menumpas musuh.
Peran penting lain dalam karier militernya adalah saat ia telah menjadi perwira tinggi. Brigjen Soeharto ketika itu ditunjuk sebagai Panglima Mandala untuk membebaskan Irian Barat dari Belanda. Operasi itu akhirnya berhasil mengembalikan Irian Barat kembali ke Indonesia pada 1 Mei 1963.
Tugas paling fenomenal dalam karier kemiliterannya adalah saat menumpas G 30 S 1965. Saat itu, Soeharto yang menjabat sebagai Pangkostrad berpangkat mayor jenderal, memimpin operasi penumpasan PKI yang dituding berada di balik aksi pembunuhan enam jenderal pada 30 September 1965. Pimpinan PKI dan orang-orang yang diduga terlibat dalam peristiwa itu ditangkap.
Pada 11 Maret 1966, Jenderal Soeharto mengemban Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) untuk membubarkan PKI sekaligus memulihkan stabilitas keamanan nasional dan kondisi politik Indonesia.
Jenderal Soeharto dilantik sebagai Menteri Utama Bidang Hankam dalam Kabinet 100 Menteri (Ampera), Juli 1966. Para demonstran siswa dan mahasiswa serta berbagai elemen masyarakat menuntut Bung Karno turun dan Kabinet 100 Menteri dibubarkan.
MPRS akhirnya mengukuhkan Jenderal Soeharto menjadi Presiden RI menggantikan Soekarno pada Maret 1967. Putra pasangan Kertosudiro dan Sukirah ini kemudian menjadi pemimpin sipil hingga mengundurkan diri pada 21 Mei 1998.
Di bidang kemiliteran, sosok Jenderal HM Soeharto termasuk salah satu ahli strategi yang andal di Indonesia. Ia telah memimpin berbagai pertempuran dengan penuh keberanian.
Pengorbanan, kegigihan, pengabdiannya kepada negara dan bangsa, menjadikan salah satu putra terbaik bangsa yang layak mendapat anugerah kehormatan Jenderal Besar TNI dan Bintang Sakti.

Sepanjang 32 tahun memimpin Indonesia, HM Soeharto juga harus diakui memiliki strategi andal di bidang pembangunan. Ia telah membangun berbagai bidang kehidupan dan membuahkan kemajuan pesat di penjuru Tanah Air.

Derapnya sebagai pencetus dan penguasa Orde Baru, tentu, memunculkan sumbu-sumbu yang tidak sepaham dengan garis politiknya. Tapi, dengan berbagai cara, ia selalu mampu meredam akselerasi tokoh dan gerakan 'oposisi' yang pernah selama masa kepemimpinannya.

Krisis moneter medio 1997 yang mendera sejumlah negara Asia, terutama di Indonesia, akhirnya yang menggiring HM Soeharto ke jurang kejatuhannya. Krisis moneter yang memicu krisis politik dan kerusuhan massal itu berujung pada pengunduran diri HM Soeharto, 21 Mei 1998.

Sejak itulah kharisma, peran, jasa, dan figur pimpinan berkarakter Jawa kental yang penuh kontroversi ini terbenam ditelan gelombang dahsyat reformasi. [I3]

sumber : http://www.inilah.com/read/detail/7331/jenderal-besar-ahli-strategi
 
 

Rindu Soeharto, Rindu Stabilitas

Fotografer - Andi Saputra
Komentar  |   Share : Facebook  Share to 
Twitter  mail
Rindu Soeharto, Rindu Stabilitas
Soeharto selalu di lukiskan sebagai Jenderal yang selalu murah senyum. Soeharto yang telah menjabat sebagai presiden selama 32 tahun ini telah membuat publik simpatik. Selain dianggap sebagai presiden yang paling disukai ternyata Soeharto juga dinilai sebagai presiden yang paling berhasil dalam menjalankan tugasnya.
icon_star_full icon_star_full icon_star_full icon_star_full icon_star_off
Presiden RI terlama, Jenderal Soeharto menuai kontroversi. Namun, menurut Lembaga Survei Indo Barometer terakhir, Soeharto merupakan Presiden yang paling disukai publik, mengalahkan lima presiden lain termasuk Susilo Bambang Yudhoyono.


Selepas kepergian Gus Dur, wacana pemberian gelar pahlawan terhadap beliau mulai bermunculan. Namun kemudian muncul pula usulan lama yang kembali mengemuka, yakni pemberian gelar pahlawan terhadap Soeharto. Melihat sepak terjang Gus Dur, yang cinta damai dan pluralis, rasanya pantas gelar itu disematkan kepadanya. Apakah sepak terjang Soeharto cukup sepadan untuk dianugerahi gelar pahlawan ?

Galibnya, jika ingin memberikan gelar pahlawan kepada seseorang, harus ditimang seberapa besar peran positifnya bagi nusa dan bangsa. Dalam hal ini, Soeharto cukup memberikan andil terhadap pembangunan bangsa. Bayangkan pada masa orde baru pertumbuhan ekonomi negeri ini mencapai angka yang mencengangkan banyak pihak. Dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen, tampillah Indonesia sebagai macan asia. Namun benarkah Seoharto begitu “suci” dengan melihat keberhasilan pembangunannya, dan pantas digelari sebagai pahlwan? Sabar dulu.

Di balik itu, berserakan fakta-fakta sejarah yang kelam tentang bapak pembangunan ini. Fakta-fakta sejarah tersebut, hingga detik ini belum diberi ruang yang cukup untuk didiskusikan oleh publik karena pemerintah kita masih kaku dalam menafsirkan sejarah dan menutup pintu untuk berbagai versi lainnya.

Mari kita lihat satu persatu fakta sejarah tersebut. Fakta sejarah pertama, tentu saja seputar peristiwa 30 September 1965. Menurut versi resmi salama ini, peristiwa tersebut didalangi oleh PKI, karena ingin merebut kekuasaan. Namun ada beberapa versi yang mengatakan bahwa peristiwa 30 September 1965 merupakan buah dari upaya intelijen asing dalam hal ini CIA dan MI6 Inggris. Seperti kita ketahui bersama, dekade 1950-an hingga1960-an arah politik Bung Karno semakin keras terhadap negara-negara imperialis, Amerika dan sekutunya. Dalam situasi seperti itu, mau tidak mau Bung Karno harus menggabungkan diri dengan kekuatan-kekuatan yang juga anti terhadap negara-negara kolonial tersebut. Kebetulan negara-negara yang se-ide dengan politik Bung Karno adalah negara-negara yang berpaham komunis. Maka terciptalah poros Jakarta-Peking-Hanoi-Pyongyang. Indonesia juga mensponsori berdirinya Conference of New Emerging Forces (Conefo) sebagai badan tandingan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)

Di dalam negeri, satu-satunya pendukung setia politik konfrontatif Bung Karno adalah PKI. Secara perlahan partai tersebut makin mendekati pusaran kekuasaan. Tak ingin Indonesia menjadi “merah” CIA menjalin kontak dengan agen-agen AD Indonesia yang juga berseberangan dengan PKI dan Bung Karno untuk melakukan provokasi agar bisa membersihkan PKI dan pendukung-pendukung Bung Karno. Apalagi pada dekade tersebut perang dingin antara AS kontra Uni Sovyet telah berada pada titik kritisnya. Versi terakhir inilah yang penulis yakini kebenarannya. Peristiwa internal Indonesia tidak mungkin berdiri sendiri, tapi ada anasir-anasir asing yang bermain di dalamnya.

Selepas peristiwa itu, terjadi kampanye besar-besaran bahwa PKI dan simpatisannya harus dibersihkan dari persada Nusantara. Alhasil tercatat ribuan oang meregang nyawa, sebagian ditahan tanpa didahului oleh persidangan, bahkan tidak sedikit yang dibuang ke Pulau Buru. Semua itu terjadi pada masa Soeharto berkuasa secara de facto. Apakah layak jika memang benar petinggi-petinggi PKI yang merencanakan kudeta dengan membersihkan jenderal-jenderal AD tersebut, harus dibayar dengan pelanggaran HAM terhadap begitu banyak orang? Bahkan para “komunis” itu pun selepas dari tahanan harus memperoleh stigma sebagai komunis jahat yang harus diwaspadai, hingga anak-cucu mereka pun terkena imbas dan kehilangan hak-hak mereka sebagai warga negara. Lagi-lagi hal ini dipelihara selama rezim orde baru berkuasa.

Di samping peristiwa 1965, tercatat pula beberapa peristiwa pelanggaran HAM lainnya seperti invasi ke Timor-Timur, penembak misterius (petrus), penculikan aktivis pro-demokrasi peristiwa Talangsari, Tanjung Priok, Situbondo dan lain sebagainya. Semua itu terjadi pada masa kepemimpinan orde baru dan melibatkan petinggi militer. Itulah wajah HAM di Indonesia semasa Soeharto berkuasa. Bagaimana dengan bidang-bidang lainnya?

Fakta sejarah kedua, adalah pembangunan ekonomi di bawah kepemimpinan Soeharto. Ketika keadaan sekitar tahun 1966 yang makin panas dengan gencarnya aksi-aksi demonstrasi menuntut pembubaran PKI yang disponsori oleh TNI-AD, Soekarno “dipaksa” untuk menandatangani empat produk Undang-Undang (UU) yang menjadikan Indonesia sebagai subordinat dari pihak asing (Revrisond Baswir: 2008) Keempat UU tersebut adalah (1) UU No.7/1966 tentang penyelesaian utang-piutang antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Belanda; (2) UU No.8/1966 tentang pendaftaran Indonesia sebagai anggota Asian Development Bank (ADB); (3) UU No.9/1966 tentang pendaftaran kembali Indonesia sebagai angota Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia; dan (4) UU No.1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA)

Padahal sebelumnya, pada tahun 1965 presiden Soekarno mengeluarkan UU.No.16/1965 yang isinya kurang lebih menolak segala macam bentuk ketelibatan modal asing. Berbekal empat UU di atas itulah, Soeharto membangun ekonomi Indonesia ke arah ekonomi neoliberalisme, dengan dukungan badan-badan dunia seperti IMF dan Bank dunia melalui peminjaman hutang kepada Indonesia yang harus dibayar hingga detik ini.

Pada tahun 1967, dalam sebuah konferensi yang disponsori oleh perusahaan Timelife, direncanakan pengambilalihan bisnis Indonesia yang dihadiri oleh pebisnis besar seperti David Rockefeller, dan lain sebagainya. Wakil pemerintah Indonesia sendiri adalah Adam Malik dan Sri Sultan Hamengkuwono IX. Dalam konferensi yang berlangsung selama tiga hari itu, dibuat kebijakan yang akan menguntungkan perusahaan-perusahaan besar tersebut untuk masuk ke setiap sektor. Perusahan-perusahan tersebut kemudian menyusun infrastruktur hukum di Indonesia untuk kepentingan investasi mereka (John Pilger: 2002) Sekali lagi, inilah bukti Indonesia menghambakan diri di hadapan pihak asing pada zaman Soeharto.

Itulah beberapa fakta sejarah yang makin menunjukkan sebenarnya kepada siapa Soeharto mengabdikan kekuasaannya. Masih banyak fakta sejarah lainnya yang makin menampilkan wajah lain dari Soeharto yang selama ini selalu diagung-agungkan oleh banyak pihak. Seperti rekayasa sejarah Serangan Umum (SU) 1 Maret, pengekangan hak berpendapat dan berkumpul di bidang politik, penafsiran Pancasila seara kaku yang tidak membuka ruang dialog, lalu menumbuhkembangkan benih-benih korupsi, kolusi dan nepotisme yang melibatkan kroni-kroninya.

Orang yang berpendapat bahwa Soeharto layak digelari pahlawan, sejatinya menutup mata akan sejarah yang ditorehkan oleh Soeharto, termasuk partai Golkar yang selama ini getol menginginkan agar gelar itu disematkan kepada jnderal bintang lima itu. Dalam perjalanan sejarah, Golkar memang menjadi kekuatan penopang Soeharto bersama militer. Jadi Golkar berkepentingan mengegolkan orang yang selama ini “berjasa” membesarkan Golkar. Kini terlihat jelas wajah Golkar yang tidak reformis.

Dengan melihat fakta-fakta sejarah yang telah diulas di depan, apakah layak Soeharto dianugerahi gelar pahlawan? Penulis dengan tegas mengatakan tidak. Bagaimana dengan Anda?