Seorang jenderal dalam usia 46 mulai menggenggam kekuasaan yang
besar. Sejarah sudah membahasnya, dan bahasan itu belum usai. Anda boleh
kagum sepenuh takzim, boleh pula benci kepadanya — atau seperti banyak
orang bingung untuk merumuskannya dalam satu kata. Meski saya sangat
tidak suka kepadanya — ketika dia hidup, saya selalu menyebutnya dalam
blog sebagai “orang itu” — saya mengakui bahwa dalam dirinya pasti ada
hal-hal baik bahkan mulia. Dia manusia, bukan iblis, bukan malaikat.
Saya teringat dia karena barusan menemukan foto-foto lama yang dulu,
sudah lama banget, pernah saya lihat di majalah Life. Foto-foto
yang sebagian adalah hasil pengarahan dan mengundang tafsir subyektif
itu. Di kemudian hari, pada puncak kekuasaannya, siapa yang bisa membuat
dia nyaman dan rileks untuk diatur-atur, dan difoto dari dekat?
Dari jepratan Larry Burrows, pewarta foto perang itu, saya melihat
foto-foto penuh percaya diri seorang jenderal yang nyaman menggenggam
cek kosong sejak awal kekuasaannya, hampir boleh ngapain aja, karena
banyak orang percaya dan berharap kepadanya.
Foto-foto itu menggambarkan kepercayaan diri yang tinggi tanpa
menjadi congkak berlebihan, karena dari seorang Jawa introvert, yang
bercitra humble, selalu ada cara lunak untuk menunjukkan
kelebihan diri. Mampu mengemas keangkuhan dalam kehalusan.
Saya melihat foto-foto seorang suami dan ayah yang hangat.
Barangkali, karena kultur kita, maka dia pun menganggap rakyat sebagai
anak — demikian pula rakyat terhadapnya: bapak. Selebihnya adalah father
knows best dan dia menjadi patriarch, menjadi sentrum
dari segala tafsir tentang kebenaran.
Dia akhirnya menjadi romo (rama, ayahanda, dalam konteks ini
bukan pastor) yang bahasa tubuhnya, termasuk anggukan kecil, adalah
sabda nonverbal yang siap ditafsir dan dilaksanakan. Ini seperti cerita
seorang bekas menteri: jika dia meraih gelas minuman saat mendengarkan
usulan maka itu berarti penolakan.
Tentang buku, catatan, dan kliping, sudah banyak yang mengumpulkan
dan mengkajinya. Tetapi bagaimana dengan foto? Mestinya Sekretariat
Negara, Antara, Pusat Informasi Kompas, dan Pusat Dokumentasi dan
Analisa Tempo punya ribuan foto yang siap ditafsir. Saya tak tahu apakah
TVRI menyimpan dokumentasinya dengan baik.
Video TVRI dan foto koran menampilkan
hal yang tampaknya sederhana dari pidato ke pidato: kacamata dan arloji
sang jenderal yang sering berganti. Maka orang awam membatin, “Gimana ya
caranya beli? Kan nggak mungkin jalan-jalan ke toko?”
Kumpulan video TVRI pasti menampilkan seremoni yang layak tafsir.
Tentang seorang raja yang dari periode ke periode berdiri semangkin dingin,
menyambut antrean daripada tetamu yang akan berjabat tangan.
Jarak yang tak bergaris antara dia dan tetamu menghadirkan pemandangan
sama: tetamu harus membungkuk. Mirip saya menyalami orang-orang (tua).
Demikian pula foto-foto hadirin dalam banyak acara kepresidenen, yang
karena tuntutan protokoler harus ngapurancang (mempertemukan tangan di
depan atau bawah perut). Sopan sekaligus aman. Mempermudah pekerjaan
paswalpres dalam mengawasi.
Itulah sebabnya foto Direktur Pelaksana IMF Michael Camdesus
bersedekap ketika menyaksikan presiden menandatangani kesepakatan pada
15 Januari 1998. Adegan itu, seperti sebuah kapitulasi atau penyerahan
diri seorang pemimpin — bahasa kasarnya: pengakuan keok.
Ada yang tersinggung, ada yang bersorak, terhadap foto itu. Alasan
Camdessus di kemudian hari sangat menarik. Dia mengikuti ajaran ibunya,
yaitu kalau sedang kikuk karena tidak tahu harus berbuat apa ya lipatlah
tangan.
Foto-foto selalu menarik. Mirip kita mengamati foto kawan di
Facebook. Maka ketika koran-koran mulai dicetak berwarna, rakyat pun
sadar akan satu hal: pesawat telepon di meja kerjanya, di Bina Graha,
ternyata berlapis emas.
Foto lain yang tak ada urusannya dengan warna adalah sepasang gading
gajah di salah satu ruang rumahnya, Jalan Cendana. Ada rak hiasan di
sana. Orang yang belum pernah ke sana akan menebak, tak adakah jendela
di ruang itu?
Foto resmi kepresidenen edisi 1993, di Wikipedia
Indonesia, menampilkan sosok yang berjarak, tak tersentuh. Rambut
yang tak tertutup peci tampak memutih. Dalam usia 72 dia masih tampak
gagah. Bandingkan empat tahun kemudian, akhir 1997, ketika krisis
moneter mulai menghimpit Indonesia. Dia tampak menua sekali dan lelah.
Makin banyak yang bersifat kritis terhadapnya, dan mulai terasa
pembiaran oleh pihak tertentu terhadap arus yang menentang dan
menantangnya.
Foto resmi kepresidenan adalah sebuah kewajaran di negeri mana pun.
Menjadi aneh ketika makin banyak orang tak menyukainya, sehingga seorang
seorang guru yang mengajar di alma maternya pun menyesal ketika harus
bertemu wajah kepala negara yang sama tetapi berbeda edisi. Foto orang
yang dia lihat saat dulu bersekolah.
Dan lihatlah, alangkah banyaknya foto mempelai di gedung resepsi yang
gebyok atau backdrop pelaminannya tidak bisa menutupi foto
presiden dan wakilnya. Seolah kemarin dan hari ini adalah sama saja.
Padahal dari waktu ke waktu potret sang presiden berubah. Kesukaan
maupun ketidaksukaan kita menghasilkan kesamaan: kebosanan untuk
mengamati lebih jauh.
Itulah foto kepresiden yang secara berlebihan dianggap sebagai faktor
penambah penduduk Indonesia. Jumlah mutakhir penduduk adalah data
terakhir dari pemerintah plus foto presiden (karena saking banyaknya dan
terus bertambah). Ngawur tapi menghibur.
Dia adalah tokoh. Penting pula. Tak mungkin terlupakan. Video awal
80-an sampai pertengahan 90-an menampakkan seorang penguasa yang tak
terbantahkan. Ingat bagaimana dia menyatakan akan menggebuk kaum dissident?
Tidak meledak, ada senyum dan menahan tawa, tetapi dingin. Semburat
kebengisan tergambar di sana.
Dia memang bukan Castro atau Ghaddafi yang kuat mengoceh, tetapi
dalam gaya kebapakan dia tetap tak terbantahkan, terutama dalam pidato
tanpa teks dan tanya-jawab. Dehemnya sebelum berkata-kata pun punya
kekuatan. Inilah era monolog Butet Kertaradjasa dalam menirukan vokal
maupun gesturnya menjadi katup pelepas orang-orang tertindas.
Ingatan kita tentang seseorang seringkali berupa gambar di benak.
Visual sifatnya. Ingatan apa yang ada di benak Anda tentang dia? Foto
resmi itu? Prangko? Atau foto yang lain?
Mari kita tunggu sebuah hasil riset foto terhadap potret Soeharto —
ya, dialah yang saya maksud sejak tadi — lengkap dengan tafsiran
subyektifnya. Termasuk foto-foto yang humane tentang dia. Tentu
kita juga harus kritis bahwa foto tunggal, satu versi pula, hanyalah
hasil pembekuan sebuah peristiwa. Tanpa memahami konteks kita bisa
tergelincir dalam menafsir.
Entahlah siapa yang akan melakukan riset foto. Harapan saya sih Anda.
:)
Soeharto ketika di promosi menjadi Jenderal
bintang empat,
mendapat ucapan selamat dari Presiden
Soekarno.
Letnan Kolonel Soeharto, Komandan Brigade
Garuda Mataram,
Jogjakarta, Juni 1949
Staff Meeting antara Jenderal Soedirman dan
Let.Kol. Soeharto
Soeharto, Presiden Republik Indonesia -
th.1969
Soeharto The Smiling
General
Terbit: th. 1969,
ketika Soeharto baru 3 tahun menjabat Presiden Indonesia. Tebal: 280 halaman dengan banyak Foto2 didalam. Kondisi: bagus, halaman lengkap, jilid
utuh. tapi Cover jaket luarnya saja yang dengan
kondisi agak lusuh. Dalam bahasa Inggris / English.
Untuk melihat gambar yang lebih besar /
lebih jelas, click pada gambar yang akan dilihat.
Keterangan lebih lanjut mengenai pembelian,
pengiriman barang, cara pembayaran dll. silahkan Hub. e-mail: neneng1971@yahoo.com atau Hub. HP. 021.9471.2076 Pengiriman ke luar kota, tambahkan sedikit
ongkos kirim untuk biaya TIKI atau Posindo. Sudah Terjual /
SOLD
enderal HM. Soeharto
INILAH.COM, Jakarta Ini
sebuah penggalan kisah hidup Jenderal Besar HM Soeharto. Bicara prestasi
kenegaraan, Pak Harto di urutan kedua setelah Panglima Besar Soedirman
di antara 61 penerima anugerah Bintang Sakti Maha Wira Ibu Pertiwi.
Tak banyak perwira tinggi yang mendapat anugerah
kehormatan itu. Tanda kehormatan itu hanya diberikan kepada perwira TNI
yang dinilai andal dan ahli strategi.
Perwira
tinggi TNI lain yang juga mendapat penghargaan itu adalah Jenderal
Besar TNI Abdul Haris Nasution (alm), Laksamana Muda (Anumerta) Josaphat
Sudarso, Laksamana TNI (Laut) R Subiyakto, dan Laksamana TNI (Udara)
Suryadi Suryadarma.
Karier militer pria
kelahiran Desa Kemusuk, Godean, Bantul, 6 Juni 1921, ini bermula sebagai
prajurit Koninklijk Nederlans Indische Leger/Tentara Hindia Belanda
(KNIL).
Dengan fisik yang sehat, tegap,
dan kecerdasan otaknya, Soeharto muda sejak 1 Juni 1940 diterima sebagai
siswa militer di Gombong, Jawa Tengah. Enam bulan setelah menjalani
latihan dasar, ia selesaikan sekolah militer sebagai lulusan terbaik dan
mendapat pangkat Kopral di usia 19 tahun. Pos penempatan pertama
Kopral Soeharto adalah Batalyon XIII, Rampal, Malang. Kemudian Soeharto
masuk sekolah lanjutan Bintara di Gombong. Berkat sikap keprajuritan dan
disiplinnya yang tinggi, dalam waktu relatif singkat ia mendapat
kenaikan pangkat. Saat pasukan Inggris mendarat di Jakarta, Semarang,
Surabaya, dan Bandung, pada 29 September 1949, Letkol Soeharto memimpin
Batalyon X. Bersama pasukan-pasukan lain, pasukan pimpinannya bertempur
melawan tentara Sekutu di Ambarawa. Untuk merebut kembali
obyek-obyek vital di dalam kota, pasukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR)
didatangkan dari Banyumas, Salatiga, Surakarta, dan Yogyakarta. Pasukan
Inggris di Magelang dan Ambarawa pun terkepung. Empat kompi pasukan
Letkol Soeharto berhasil menduduki Banyubiru dan memukul mundur pasukan
Sekutu dari Ambarawa. Sejak peristiwa itu, nama Letkol Soeharto mulai
dikenal sebagai perwira yang cakap di lapangan dan mendapat perhatian
dari Panglima Besar Soedirman. Saat Belanda kembali melancarkan
agresi militer kedua, Februari 1949, Yogyakarta sudah dalam kekuasaan
Letkol Soeharto. Pasukannya mengadakan konsolidasi di luar Yogyakarta. Sepuluh
hari setelah peristiwa itu, Letkol Soeharto dan pasukannya menyiapkan
serangan balasan ke pos-pos pasukan Belanda di luar Yogya. Soeharto
menyusun siasat secara saksama sebelum melakukan serangan umum ke Kota
Yogya. Menjelang fajar 1 Maret 1949, pasukan Letkol Soeharto mulai
bergerilya masuk Kota Yogyakarta. Serangan berjalan lancar dan gencar
sehingga Kota Yogya dapat diduduki dalam waktu enam jam. Kota Yogya
direbut kembali dan pasukan TNI merebut berton-ton amunisi dari pasukan
Belanda. Tapi, ketika pasukan Belanda kembali dengan mesin perang dan
amunisi lengkap, Letkol Soeharto segera memerintahkan pasukannya mundur
kembali ke pangkalan masing-masing di luar Kota Yogya. Serangan yang
kemudian dikenal sebagai Serangan Umum 1 Maret 1949 sebetulnya bersifat
politis, yakni untuk mendukung perjuangan dan diplomasi RI di PBB. Secara
psikis, serangan itu dilakukan untuk mengobarkan semangat juang rakyat
agar mendukung, memulihkan, memupuk, dan meningkatkan kepercayaan
terhadap TNI yang masih setia menumpas musuh. Peran penting lain
dalam karier militernya adalah saat ia telah menjadi perwira tinggi.
Brigjen Soeharto ketika itu ditunjuk sebagai Panglima Mandala untuk
membebaskan Irian Barat dari Belanda. Operasi itu akhirnya berhasil
mengembalikan Irian Barat kembali ke Indonesia pada 1 Mei 1963. Tugas
paling fenomenal dalam karier kemiliterannya adalah saat menumpas G 30 S
1965. Saat itu, Soeharto yang menjabat sebagai Pangkostrad berpangkat
mayor jenderal, memimpin operasi penumpasan PKI yang dituding berada di
balik aksi pembunuhan enam jenderal pada 30 September 1965. Pimpinan PKI
dan orang-orang yang diduga terlibat dalam peristiwa itu ditangkap. Pada
11 Maret 1966, Jenderal Soeharto mengemban Surat Perintah 11 Maret
(Supersemar) untuk membubarkan PKI sekaligus memulihkan stabilitas
keamanan nasional dan kondisi politik Indonesia. Jenderal Soeharto
dilantik sebagai Menteri Utama Bidang Hankam dalam Kabinet 100 Menteri
(Ampera), Juli 1966. Para demonstran siswa dan mahasiswa serta berbagai
elemen masyarakat menuntut Bung Karno turun dan Kabinet 100 Menteri
dibubarkan. MPRS akhirnya mengukuhkan Jenderal Soeharto menjadi
Presiden RI menggantikan Soekarno pada Maret 1967. Putra pasangan
Kertosudiro dan Sukirah ini kemudian menjadi pemimpin sipil hingga
mengundurkan diri pada 21 Mei 1998. Di bidang kemiliteran, sosok
Jenderal HM Soeharto termasuk salah satu ahli strategi yang andal di
Indonesia. Ia telah memimpin berbagai pertempuran dengan penuh
keberanian. Pengorbanan, kegigihan, pengabdiannya kepada negara dan
bangsa, menjadikan salah satu putra terbaik bangsa yang layak mendapat
anugerah kehormatan Jenderal Besar TNI dan Bintang Sakti.
Sepanjang 32 tahun memimpin Indonesia, HM Soeharto
juga harus diakui memiliki strategi andal di bidang pembangunan. Ia
telah membangun berbagai bidang kehidupan dan membuahkan kemajuan pesat
di penjuru Tanah Air.
Derapnya sebagai
pencetus dan penguasa Orde Baru, tentu, memunculkan sumbu-sumbu yang
tidak sepaham dengan garis politiknya. Tapi, dengan berbagai cara, ia
selalu mampu meredam akselerasi tokoh dan gerakan 'oposisi' yang pernah
selama masa kepemimpinannya.
Krisis
moneter medio 1997 yang mendera sejumlah negara Asia, terutama di
Indonesia, akhirnya yang menggiring HM Soeharto ke jurang kejatuhannya.
Krisis moneter yang memicu krisis politik dan kerusuhan massal itu
berujung pada pengunduran diri HM Soeharto, 21 Mei 1998.
Sejak itulah kharisma, peran, jasa, dan figur
pimpinan berkarakter Jawa kental yang penuh kontroversi ini terbenam
ditelan gelombang dahsyat reformasi. [I3]
sumber :
http://www.inilah.com/read/detail/7331/jenderal-besar-ahli-strategi
Rindu Soeharto, Rindu Stabilitas
Fotografer - Andi Saputra
Komentar | Share :
Soeharto selalu di lukiskan sebagai Jenderal yang
selalu murah senyum. Soeharto yang telah menjabat sebagai presiden
selama 32 tahun ini telah membuat publik simpatik. Selain dianggap
sebagai presiden yang paling disukai ternyata Soeharto juga dinilai
sebagai presiden yang paling berhasil dalam menjalankan tugasnya.
Foto Lain
Presiden RI terlama, Jenderal
Soeharto menuai kontroversi. Namun, menurut Lembaga Survei Indo
Barometer terakhir, Soeharto merupakan Presiden yang paling disukai
publik, mengalahkan lima presiden lain termasuk Susilo Bambang
Yudhoyono.
Selepas
kepergian Gus Dur, wacana pemberian gelar pahlawan terhadap beliau
mulai bermunculan. Namun kemudian muncul pula usulan lama yang kembali
mengemuka, yakni pemberian gelar pahlawan terhadap Soeharto. Melihat
sepak terjang Gus Dur, yang cinta damai dan pluralis, rasanya pantas
gelar itu disematkan kepadanya. Apakah sepak terjang Soeharto cukup
sepadan untuk dianugerahi gelar pahlawan ?
Galibnya, jika ingin
memberikan gelar pahlawan kepada seseorang, harus ditimang seberapa
besar peran positifnya bagi nusa dan bangsa. Dalam hal ini, Soeharto
cukup memberikan andil terhadap pembangunan bangsa. Bayangkan pada masa
orde baru pertumbuhan ekonomi negeri ini mencapai angka yang
mencengangkan banyak pihak. Dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar
7 persen, tampillah Indonesia sebagai macan asia. Namun benarkah
Seoharto begitu “suci” dengan melihat keberhasilan pembangunannya, dan
pantas digelari sebagai pahlwan? Sabar dulu.
Di balik itu,
berserakan fakta-fakta sejarah yang kelam tentang bapak pembangunan ini.
Fakta-fakta sejarah tersebut, hingga detik ini belum diberi ruang yang
cukup untuk didiskusikan oleh publik karena pemerintah kita masih kaku
dalam menafsirkan sejarah dan menutup pintu untuk berbagai versi
lainnya.
Mari kita lihat satu persatu fakta sejarah tersebut.
Fakta sejarah pertama, tentu saja seputar peristiwa 30 September 1965.
Menurut versi resmi salama ini, peristiwa tersebut didalangi oleh PKI,
karena ingin merebut kekuasaan. Namun ada beberapa versi yang mengatakan
bahwa peristiwa 30 September 1965 merupakan buah dari upaya intelijen
asing dalam hal ini CIA dan MI6 Inggris. Seperti kita ketahui bersama,
dekade 1950-an hingga1960-an arah politik Bung Karno semakin keras
terhadap negara-negara imperialis, Amerika dan sekutunya. Dalam situasi
seperti itu, mau tidak mau Bung Karno harus menggabungkan diri dengan
kekuatan-kekuatan yang juga anti terhadap negara-negara kolonial
tersebut. Kebetulan negara-negara yang se-ide dengan politik Bung Karno
adalah negara-negara yang berpaham komunis. Maka terciptalah poros
Jakarta-Peking-Hanoi-Pyongyang. Indonesia juga mensponsori berdirinya
Conference of New Emerging Forces (Conefo) sebagai badan tandingan dari
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
Di dalam negeri, satu-satunya
pendukung setia politik konfrontatif Bung Karno adalah PKI. Secara
perlahan partai tersebut makin mendekati pusaran kekuasaan. Tak ingin
Indonesia menjadi “merah” CIA menjalin kontak dengan agen-agen AD
Indonesia yang juga berseberangan dengan PKI dan Bung Karno untuk
melakukan provokasi agar bisa membersihkan PKI dan pendukung-pendukung
Bung Karno. Apalagi pada dekade tersebut perang dingin antara AS kontra
Uni Sovyet telah berada pada titik kritisnya. Versi terakhir inilah yang
penulis yakini kebenarannya. Peristiwa internal Indonesia tidak mungkin
berdiri sendiri, tapi ada anasir-anasir asing yang bermain di dalamnya.
Selepas
peristiwa itu, terjadi kampanye besar-besaran bahwa PKI dan
simpatisannya harus dibersihkan dari persada Nusantara. Alhasil tercatat
ribuan oang meregang nyawa, sebagian ditahan tanpa didahului oleh
persidangan, bahkan tidak sedikit yang dibuang ke Pulau Buru. Semua itu
terjadi pada masa Soeharto berkuasa secara de facto. Apakah layak jika
memang benar petinggi-petinggi PKI yang merencanakan kudeta dengan
membersihkan jenderal-jenderal AD tersebut, harus dibayar dengan
pelanggaran HAM terhadap begitu banyak orang? Bahkan para “komunis” itu
pun selepas dari tahanan harus memperoleh stigma sebagai komunis jahat
yang harus diwaspadai, hingga anak-cucu mereka pun terkena imbas dan
kehilangan hak-hak mereka sebagai warga negara. Lagi-lagi hal ini
dipelihara selama rezim orde baru berkuasa.
Di samping peristiwa
1965, tercatat pula beberapa peristiwa pelanggaran HAM lainnya seperti
invasi ke Timor-Timur, penembak misterius (petrus), penculikan aktivis
pro-demokrasi peristiwa Talangsari, Tanjung Priok, Situbondo dan lain
sebagainya. Semua itu terjadi pada masa kepemimpinan orde baru dan
melibatkan petinggi militer. Itulah wajah HAM di Indonesia semasa
Soeharto berkuasa. Bagaimana dengan bidang-bidang lainnya?
Fakta
sejarah kedua, adalah pembangunan ekonomi di bawah kepemimpinan
Soeharto. Ketika keadaan sekitar tahun 1966 yang makin panas dengan
gencarnya aksi-aksi demonstrasi menuntut pembubaran PKI yang disponsori
oleh TNI-AD, Soekarno “dipaksa” untuk menandatangani empat produk
Undang-Undang (UU) yang menjadikan Indonesia sebagai subordinat dari
pihak asing (Revrisond Baswir: 2008) Keempat UU tersebut adalah (1) UU
No.7/1966 tentang penyelesaian utang-piutang antara pemerintah Indonesia
dan pemerintah Belanda; (2) UU No.8/1966 tentang pendaftaran Indonesia
sebagai anggota Asian Development Bank (ADB); (3) UU No.9/1966 tentang
pendaftaran kembali Indonesia sebagai angota Dana Moneter Internasional
(IMF) dan Bank Dunia; dan (4) UU No.1/1967 tentang Penanaman Modal Asing
(PMA)
Padahal sebelumnya, pada tahun 1965 presiden Soekarno
mengeluarkan UU.No.16/1965 yang isinya kurang lebih menolak segala macam
bentuk ketelibatan modal asing. Berbekal empat UU di atas itulah,
Soeharto membangun ekonomi Indonesia ke arah ekonomi neoliberalisme,
dengan dukungan badan-badan dunia seperti IMF dan Bank dunia melalui
peminjaman hutang kepada Indonesia yang harus dibayar hingga detik ini.
Pada
tahun 1967, dalam sebuah konferensi yang disponsori oleh perusahaan
Timelife, direncanakan pengambilalihan bisnis Indonesia yang dihadiri
oleh pebisnis besar seperti David Rockefeller, dan lain sebagainya.
Wakil pemerintah Indonesia sendiri adalah Adam Malik dan Sri Sultan
Hamengkuwono IX. Dalam konferensi yang berlangsung selama tiga hari itu,
dibuat kebijakan yang akan menguntungkan perusahaan-perusahaan besar
tersebut untuk masuk ke setiap sektor. Perusahan-perusahan tersebut
kemudian menyusun infrastruktur hukum di Indonesia untuk kepentingan
investasi mereka (John Pilger: 2002) Sekali lagi, inilah bukti Indonesia
menghambakan diri di hadapan pihak asing pada zaman Soeharto.
Itulah
beberapa fakta sejarah yang makin menunjukkan sebenarnya kepada siapa
Soeharto mengabdikan kekuasaannya. Masih banyak fakta sejarah lainnya
yang makin menampilkan wajah lain dari Soeharto yang selama ini selalu
diagung-agungkan oleh banyak pihak. Seperti rekayasa sejarah Serangan
Umum (SU) 1 Maret, pengekangan hak berpendapat dan berkumpul di bidang
politik, penafsiran Pancasila seara kaku yang tidak membuka ruang
dialog, lalu menumbuhkembangkan benih-benih korupsi, kolusi dan
nepotisme yang melibatkan kroni-kroninya.
Orang yang berpendapat
bahwa Soeharto layak digelari pahlawan, sejatinya menutup mata akan
sejarah yang ditorehkan oleh Soeharto, termasuk partai Golkar yang
selama ini getol menginginkan agar gelar itu disematkan kepada jnderal
bintang lima itu. Dalam perjalanan sejarah, Golkar memang menjadi
kekuatan penopang Soeharto bersama militer. Jadi Golkar berkepentingan
mengegolkan orang yang selama ini “berjasa” membesarkan Golkar. Kini
terlihat jelas wajah Golkar yang tidak reformis.
Dengan melihat
fakta-fakta sejarah yang telah diulas di depan, apakah layak Soeharto
dianugerahi gelar pahlawan? Penulis dengan tegas mengatakan tidak.
Bagaimana dengan Anda?